Jakarta (Kemenag) --- Kajian Tangga Ruhani Sufi dalam meraih Rida Ilahi sudah memasuki persinggakan kedelapan, yaitu Al-Haqa'iq atau Hakikat. Kajian ini diambil dari Kitab Tambih Al-Masyi karya Abdurrauf Al-Sinkili yang dikupas oleh Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Oman Fathurahman.
Melalui akun twitternya @ofathurahman, Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Sawangan Depok ini membuat serial utasan dengan tajuk #tanggaruhani selama Ramadan 1442 H.
"Tangga ruhani pertama pada persinggahan ini adalah al-Mukasyafah (tersingkap). Yakni terbukanya hijab (penghalang) hamba dengan Tuhan, tersingkaplah berbagai sifat dan hakikat Allah, tidak melalui penampakan lahir, melainkan secara batin. Al-mukasyafah hanya dicapai jika hati bersih," demikian Oman mengawali utasannya sebagaimana dikutip Humas dengan beberapa penyesuaian, Kamis (20/5/2021).
Kedua, al-Musyahadah (persaksian). Yakni, tersingkapnya hijab tanpa bentuk dan sifat lagi, melainkan dengan kekhususan dan kekhasan. Al-Harawi, terang Oman, mengartikan al-Musyahadah sebagai runtuhnya hijab secara lebih meyakinkan. "Al-musyahadah lebih tinggi dari al-Mukasyafah," ujarnya.
Al-Mu’ayanah (pengenalan) menjadi tangga persinggahan ketiga. Ini dipahami sebagai mengenali hakikat yang dicari, dengan pasti. Mengenali hakikat dimulai dengan penglihatan mata, berlanjut dengan qalbu, sehingga akhirnya mengenali dengan ruh. "Apapun yang dipandang mata, menghantarkan pada pengenalan hakiki," simpulnya.
Keempat, al-Hayah (hidup). Maksudnya, hidup disertai dengan cahaya hakikat. Hidup dengan ilmu dan iman. Ilmu menggerakkan perilaku (ahwal), perilaku membentuk hidup.
"Dengan ilmu, ruh kenali makrifat dan tauhid, tumbuhlah cinta dan beribadah semata kepada-Nya," terang pengampu kajian online Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara (Ngariksa) melalui chanel youtube ini.
Kelima, al-Qabd (genggaman). Yakni, maqom hamba yang jiwanya dalam genggaman Allah. “Kemudian Kami menggenggamnya kepada Kami secara perlahan†(al-Furqan: 46).Â
"Menggenggam bisa berarti melindungi, menyembunyikan hingga manusia lain tidak mlihatnya," jelasnya.
Keenam, al-Basth (lapang). Yakni lapang hati secara hakiki. Lapang diperoleh jika Allah anugerahkan ilmu kepada hamba, dan tanamkan ketaatan dalam qalbunya. Hamba seperti ini bisa tampak seperti orang biasa di hadapan manusia, tapi spesial di sisi-Nya.
"Ketujuh, al-Sukr (mabuk): hilang rasa karena bertemu Hakikat Ilahi. “Mabuk†dalam konteks ini berarti bergelora atas kegembiraan yang teramat sangat, akibat cinta kepada-Nya, rindu ingin bertemu," tuturnya.Â
"Musa as “mabuk†ingin melihat Tuhannya," lanjut Oman mengutip QS. al-A’raf: 143.
Kedelapan, al-Sahw (tenang): kembali sadar setelah hilang rasa. Al-sahw di atas al-Sukr, mirip dengan lapang (al-basth). Dalam al-Sukr, hamba “mabuk†dalam al-Haq. Dlm al-Sahw, hamba tenang bersama-Nya. Hamba di tangga ini sudah sangat dekat dengan-Nya.
Kesembilan, al-Ittisal (terhubung). Menurut Abdurrazaq al-Ka’syani, ini adalah maqam terhubungnya hamba dengan Keagungan-Nya. "Tidak ada hijab untuk menyaksikan Hakikat-Nya, sangat dekat. Tangga ini menghantar pada fana'. Tidak mencari pelindung selain-Nya," urainya.
"Kesepuluh, al-Infishal (terputus). Yakni, terputus secara mutlak dari segala keterhubungan dengan selain Allah. Bahkan putus dari semua kondisi ruhani; fana’ dari merasa fana’. Ini adalah puncak keterhubungan hamba dengan-Nya, untuk-Nya, dan oleh-Nya," tutupnya.
Sumber: Kemenag.go.id