Jakarta (Kemenag) --- Tulisan ini merupakan kelanjutan dari serial utas Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Oman Fathurahman tentang 100 tangga ruhani para sufi meraih rida Ilahi. Utasan ini disarikan dari manuskrip Tanbih al-Masyi karya ulama Nusantara Syekh Abdurrauf al-Sinkili.
Pada tulisan sebelumnya, Oman Fathurahman yang juga pengampu Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara (Ngariksa) mengupas bagian pertama “Al-Bidayah". Ada 10 tangga awal yang telah dipaparkan, yaitu, al-yaqzhah (bangun, terjaga), at-taubah (bertaubat), al-inabah (kembali), al-muhasabah (introspeksi), al-tafakkur (memikirkan/mengamati), al-tadzakkur (mengingat), al-firar (lari), al-sima’ (mendengarkan), al-riyadhah (latihan), dan al-i’tisham (berpegang teguh).
Bagian kedua dari 100 Tangga Ruhani adalah Al-Abwab. “Dalam bagian Al-Abwab juga terdapat 10 #TanggaRuhani,” demikian Oman Fathurahman mengawali utasan tentang bagian kedua ini sebagaimana dikutip Humas Kemenag dari utas #100TanggaRuhani pada akun twitter @Ofathurahman dengan penyesuaian seperlunya, terutama pada penulisan singkatan, Kamis (22/4/2021).
Pertama, al-huzn (penyesalan). Mengutip al-Sinkili, Oman menjelaskan bahwa al-huzn berarti sikap menyesali segala kebaikan yang terlewatkan. “Menyesal karena tahu dan mampu berbuat baik, tapi melewatkannya,” tutur Oman.
Kedua, al-khawf (takut). Ini bisa dipahami sebagai perasaan gundah, khawatir terjerumus pada hal buruk yang tidak disukai. “Al-khawf bisa berarti takut hukuman, takut menjalankan keburukan. Al-khawf ibarat rem, al-raja’ (berharap) gasnya,” ujar Pengasuh Pesantren Al Hamidiyah Sawangan Depok ini.
Ketiga, al-isyfaq (lembut). Oman memahami ini sebagai rasa khawatir yang diiringi dengan kelembutan dan kasih sayang. Rasa khawatir itu, kata Oman, bisa menjadikan seseorang menjadi waspada. “Khawatir diri tersesat, khawatir amal sia-sia karena tidak ikhlas,” jelasnya.
“Mulai berat nih,” cuit Oman.
Keempat, al-khusyu’ (tunduk dan rendah), yakni jiwa tenteram di hadapan Dzat Yang Mahabesar. Cirinya rendah hati, pasrah dan selalu menerima kebenaran. Khusyu’ tempatnya di hati, fisik hanya mengikuti, keduanya saling terkait.
Kelima, al-ikhbat (tenteram). Jiwa yang khusyu’ akan tenteram bersama Allah. Al-ikhbat adalah awal tercapainya “tuma’ninah”. Artinya, betah dan tidak ragu lagi dengan kebenaran. “Pujian dan cacian "gak ngaruh"; tidak mngurusi keburukan orang lain. Nah!” paparnya.
Tangga Ruhani berikutnya atau yang keenam adalah al-zuhd (zuhud). Tahapan ini adalah melepas kecintaan hati secara ekstrem pada hal duniawi. Namun, jelas Oman, zuhud bukan berarti tidak punya harta, keluarga, atau jabatan. “Kuncinya pada hati. Urusan duniawi tidak boleh me”replace” cinta sejati pada Allah,” ujarnya.
Ketujuh, al-wara’ (berhati-hati). Yakni, menjauhi hal yang potensial menimbulkan dosa; meninggalkan perkataan, perbuatan, dan pikiran yang tidak bermanfaat. “Pesan Nabi, di antara ciri keislaman yang baik adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat,” tutur Oman.
Kedelapan, al-tabattul (pemisahan). Maksudnya, memisahkan hati dari segala urusan, ketika beribadah. Putus dari yang lain, nyambung dengan Allah. “Tidak silau/berharap duniawi atau jabatan, karena hanya memikirkan-Nya. al-Tabattul berkaitan dengan zuhud,” tegasnya.
Tangga kesembilan adalah al-raja’ (berharap). Yakni, berbaik sangka bahwa kebaikan akan datang, optimis bahwa Tuhan mengabulkan harapan. “Bedakan al-raja’ dengan al-tamanni ("ngarep"); yg pertama berharap sambil berusaha, yang kedua berharap tapi berpangku tangan,” ucapnya.
Tangga terakhir pada bagian Al-Abwab adalah al-raghbah (ketertarikan). Maksudnya, ketertarikan menjalani perjalanan menuju al-Haq/Kebenaran. Al-raghbah lebih tinggi dari al-raja’. “Al-raghbah tidak sekadar berharap menemukan kebenaran, al-raghbah berarti sudah menemukannya, tinggal menjalani,” tandasnya.
Ada di tangga berapa kita? Semoga bermanfaat!
Sumber: Kemenag.go.id